Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh
berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian
melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak,
Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat,
kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan
pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan
dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan
pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29
Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan
gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh
jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB)
berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan
Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij
HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten
ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat
tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah
diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan
makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak
tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke
Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia
merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak
mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan;
Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju
dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik
Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto
Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno
merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip
rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file
dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila”
muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara
mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila
dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana
Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II
dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A
Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini
bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan
kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta
Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan
sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan
Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah
dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena
menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah
rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II),
Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk
keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga,
mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih
menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8
Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS,
Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang
negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan,
karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu
manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah
disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk
Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno
kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta
sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila”
terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara
karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet
RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul”
dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan
anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh
seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara
itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan
kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda
Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang
mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan
juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk
final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden
Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis
kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS
Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk
final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna
gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung,
Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi
lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66
Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan
foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal
Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid
II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga
Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang
mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar
Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya
tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang
negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun
1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan
Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana
Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya
untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum
Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang
Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M
Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya
itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai
dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan
Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia
kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi
pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar
dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi
Kal-Bar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar