JAKARTA, KOMPAS.com -- Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah menyatakan, keberhasilan Indonesia menjadi 10 ekonomi besar dunia berdasarkan Purchasing Power Parity menunjukkan bahwa kini Indonesia sejajar dengan negara-negara yang selama ini tergolong sebagai negara maju.
“Indonesia ditempatkan oleh Bank Dunia sebagai negara ke-10 dengan Product Domestic Bruto (PDB) terbesar dari 177 negara berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP). Hanya ada tiga negara Asia yang masuk dalam kategori 10 besar itu, yaitu Tiongkok, India, dan Indonesia,” kata Firmanzah melalui surat elektroniknya dari Washington DC, Amerika Serikat, Senin (5/5/2014), seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet hari ini.
Firmanzah mengatakan, ekonomi terbesar nomor satu masih ditempati Amerika Serikat (AS), yang diikuti oleh Tiongkok, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Perancis, dan Inggris. Namun, ranking Bank Dunia ini sekaligus menunjukkan besaran GDP berdasar PPP, Indonesia lebih besar dari Meksiko, Italia, Belanda, Korea Selatan, dan Australia.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu mengemukakan, ada lima faktor yang menjadi penyebab utama Indonesia masuk 10 negara terbesar itu, yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan sustainable
2. Berjalan baiknya sejumlah kebijakan pengendalian inflasi dalam 5-8 tahun terakhir
3. Percepatan pembangunan infrastruktur dan industrialisasi juga meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan multiplier effect ke sektor ekonomi lainnya
4. Masifnya program pemberdayaan dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat membantu tingkatkan purchasing power dan sektor riil
5. Stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban juga terus terjaga dan semakin baik.
“Kelima sektor inilah yang membuat ekonomi terus tumbuh dan meningkatnya daya beli masyarakat sehingga ekonomi domestik terus ekspansif,” ucap Firmanzah.
Firmanzah menyebutkan, indikasi keberhasilan ekonomi Indonesia juga bisa dibaca dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (2/5/2015) yang secara umum menunjukkan tren yang positif dan sinyal afirmatif atas penguatan fundamental ekonomi yang terus berlangsung dalam beberapa tahun terakhir.
“Penguatan fundamental ekonomi nasional di tengah proses penyelenggaraan pemilu dan sejumlah tekanan eksternal merupakan refleksi kapasitas ekonomi dan bekerjanya sejumlah instrumen kebijakan ekonomi yang telah ditempuh selama ini,” terangnya.
Firmanzah menguraikan laporan BPS periode April 2014, tercatat terjadi deflasi sebesar 0,02 persen setelah pada Maret tercatat inflasi sebesar 0,08 persen. Dengan deflasi 0,02 persen pada April 2014, maka inflasi tahun kalender Januari-April 2014 tercatat sebesar 1,39 persen dan inflasi secara tahunan (yoy) sebesar 7,25 persen.
“Terkendalinya kinerja inflasi sepanjang Januari-April 2014 merupakan bagian dari upaya pengendalian yang terus dilakukan pemerintah baik dari sisi pasokan maupun pengendalian harga, khususnya komoditas yang berdampak langsung bagi ekonomi rumah tangga menengah ke bawah (khususnya pangan),” kata Firmanzah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar